Selasa, 28 Februari 2012

Agar Terhindar dari Drama di Media Sosial Usai Putus Cinta

Konflik ketika putus cinta kini tak hanya berlangsung saat bertemu berdua. Seringkali konflik ini berlanjut ke media sosial dan menjadi tontonan banyak orang. 


Kalau sudah demikian, drama yang dinikmati bebas banyak orang tak terhindarkan. Efeknya selain merusak reputasi juga membuat hubungan dengan mantan semakin kusut. Jangan sampai melakukan tindakan yang disesali kemudian hari. Coba ikut beberapa langkah ini. 


1. Media Sosial bukan KTP 


Untuk yang masih kerap berganti-ganti kekasih sebaiknya hindari godaan untuk secepatnya meng-update status hubungan di media sosial. Tindakan ini bisa berakibat runyam di kemudian hari kalau terjadi konflik dengan kekasih. Seringkali mantan pasangan menjadi sakit hati ketika usai putus, sang mantan terlalu cepat mengubah status hubungannya di media sosial. Aktivitas kecil ini sering akhirnya lalu memicu kemarahan maupun kebencian. Jalani dulu hubungan Anda dengan mantap sebelum benar-benar memikirkan untuk mengubah status di media sosial. 


2. Jangan Mengintip 


Setelah hubungan bubar dan saling menjalani kehidupan masing-masing, tetap ada keinginan untuk mengetahui kegiatan si mantan. Membuka akun media sosialnya dan melihat kegiatannya merupakan godaan yang sulit ditolak. Kalau hasilnya baik sih mungkin aman saja, tapi kalau ada kegiatan yang membuat hati geram ujung-ujungnya konflik pun pecah lagi. Dulu si dia membantah kalau bubarnya hubungan kalian karena wanita lain, tapi sekarang foto mesranya dengan wanita tersebut sudah dipajang di akun media sosialnya. 


Perasaan tertipu dan dibohongi seringkali memicu konfrontasi. Hubungan yang tadinya sudah tenang kini berkonflik lagi. Jika masih memiliki perasaan yang tersisa baik sayang maupun benci, sebaiknya fokus untuk melupakan dirinya. Jangan intip akun jejaring sosial miliknya untuk melindungi diri dari rasa kecewa. 


3. Jaga Rahasia 


Wanita yang bisa mengendalikan diri akan terlihat lebih menarik daripada yang mudah meledak-ledak. Hubungan Anda dan kekasih mungkin berakhir tak sempurna, tapi bukan berarti semua orang harus tahu keburukan si dia. Tak perlu meng-update status sedikit demi sedikit tentang perasaan hati Anda. Tak perlu juga menulis di halaman media sosial mantan Anda tentang amarah maupun perasaan Anda. Tentu Anda sadar bukan hanya dia yang bisa membaca. 


Sebaiknya tenangkan diri dan tahan diri untuk tidak mengumbar perasaan dan konflik Anda di media sosial. Selain hanya akan menjadi tontonan banyak orang, reputasi Anda juga menjadi kurang baik. Bisa saja teman yang tadinya memendam perasaan suka, menjadi hilang selera karena melihat emosi Anda yang meledak tak terkendali. Jangan juga mudah terpancing jika si dia mengumbar kisah cinta Anda di media sosial. Tahan diri dan hindari dari sikap-sikap yang akan Anda sesali di kemudian hari. Ajak sang mantan bicara baik-baik secara langsung jika ia terus menyerang. Apabila perlu berkirim pesan, sebaiknya lakukan lewat jalur pribadi yang hanya bisa dibaca Anda dan dia. 


4. Pengaturan Privasi 


Jika Anda dan mantan putus secara tidak baik-baik, mungkin saja konflik akan berlanjut di media sosial. Sebaiknya pikirkan untuk mengubah pengaturan privasi di halaman media sosial Anda. Jika perlu buat dia dan beberapa temannya tidak bisa melihat aktivitas Anda. Apabila diperlukan, Anda juga bisa mengatur agar si dia tidak bisa menulis di halaman Anda atau berinteraksi dengan Anda. Lakukan ini jika ingin menghindari mantan yang hobi memata-matai atau ketika ia mulai melakukan serangan di media sosial. 


5. Hindari Perang Status 


Seringkali perasaan ingin 'balas dendam' timbul ketika putus hubungan dengan cara yang tidak baik. Seakan Anda ingin berkompetisi dengan mantan bagaimana Anda sudah melupakannya dan membuka lembaran baru. Selalu meng-update status dengan harapan agar si mantan cemburu atau terpancing, bukanlah cara yang bijaksana. 


Semakin sering Anda melakukan itu, semakin pula terlihat Anda belum bisa melupakannya. Tak perlu mengganti avatar atau memajang foto Anda dengan pria lain untuk membuatnya cemburu. Sebaiknya tetap tenang dan jangan terlalu sering curhat di media sosial. Keberadaan Anda yang misterius justru akan membuat ia semakin penasaran dan ingin tahu. 


6. Tidak Bisa Dihapus 


Ingat, apapun yang Anda tulis di media sosial, tidak bisa dengan mudahnya dihapus. Mungkin Anda bisa menghapus update status Anda, tapi bisa jadi sudah banyak yang membaca dan menyebarkannya. Begitu sebuah tulisan atau foto beredar di internet maka akan sulit untuk mengatur penyebarannya. Apalagi tentu teman Anda di media sosial tidak cuma 1 orang. 


Pikirkan baik-baik apa yang akan Anda tulis di media sosial. Sekali sudah terkirim akan sulit untuk menarik ulang atau menghilangkannya dari internet. Pikirkan baik-baik reputasi Anda di dunia maya. Saat Anda melamar pekerjaan atau pendekatan dengan pacar baru, bukannya tak mungkin mereka akan mengetik nama Anda di mesin pencari. Tentu Anda tak mau mereka menemukan tulisan-tulisan atau foto yang merusak penilaian terhadap Anda.  


Cuti Sementara 


Jika semua hal tersebut sulit dilakukan, berarti Anda harus cuti sementara dari media sosial. Sampai Anda cukup tenang, sebaiknya hindari membuka akun jejaring sosial dan sibukkan diri dengan hal yang lain. Cari aktivitas-aktivitas yang menyibukkan diri sehingga pikiran tidak hanya terfokus pada kesedihan akibat putus cinta. Cari kegiatan yang bisa menyenangkan dan meningkatkan kepercayaan diri agar mudah untuk membuka lembaran baru. 

Senin, 13 Februari 2012


Apakah Anak-ku harus rangking 1?

Posted on  
Si Ranking 23 : “Aku ingin menjadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan”
Di kelasnya terdapat 50 orang murid, setiap kali ujian, anak perempuanku tetap mendapat ranking ke-23. Lambat laun membuat dia mendapatkan nama panggilan dengan nomor ini, dia juga menjadi murid kualitas menengah yang sesungguhnya. Sebagai orangtua, kami merasa nama panggilan ini kurang enak didengar,namun ternyata anak kami  menerimanya dengan senang hati.
Suamiku mengeluhkan ke padaku, setiap kali ada kegiatan di perusahaannya atau pertemuan alumni sekolahnya, setiap orang selalu memuji-muji “Superman cilik” di rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menjadi pendengar saja. Anak keluarga orang, bukan saja memiliki nilai sekolah yang menonjol, juga memiliki banyak keahlian khusus. Sedangkan anak kami rangking nomor 23 dan tidak memiliki sesuatu pun untuk ditonjolkan. Dari itu, setiap kali suamiku menonton penampilan anak-anak berbakat luar biasa dalam acara televisi, timbul keirian dalam hatinya sampai matanya begitu bersinar-sinar.
Kemudian ketika dia membaca sebuah berita tentang seorang anak berusia 9 tahun yang masuk perguruan tinggi, dia bertanya dengan hati kepada anak kami: “Anakku, kenapa kamu tidak terlahir sebagai anak dengan kepandaian luar biasa?” Anak kami menjawab: “Itu karena ayah juga bukan seorang ayah dengan kepandaian yang luar biasa”. Suamiku menjadi tidak bisa berkata apa-apa lagi, saya tanpa tertahankan tertawa sendiri.
Pada pertengahan musim, semua sanak keluarga berkumpul bersama untuk merayakannya, sehingga memenuhi satu ruangan besar di sebuah restoran. Topik pembicaraan semua orang perlahan-lahan mulai beralih kepada anak masing-masing. Dalam kemeriahan suasana, anak-anak ditanyakan apakah cita-cita mereka di masa mendatang? Ada yang menjawab akan menjadi pemain piano, bintang film atau politikus, tiada seorang pun yang terlihat takut mengutarakannya di depan orang banyak, bahkan anak perempuan berusia 4½ tahun juga menyatakan bahwa kelak akan menjadi seorang pembawa acara di televisi, semua orang bertepuk tangan mendengarnya.
Anak perempuan kami yang berusia 15 tahun terlihat sangat sibuk sekali sedang membantu anak-anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya kelak. Di bawah desakan orang banyak, akhirnya dia menjawab dengan sungguh-sungguh: Kelak ketika aku dewasa, cita-cita pertamaku adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari lalu bermain-main. Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan akan cita-cita keduanya. Dia menjawab dengan besar hati: “Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang”. Semua sanak keluarga tertegun dibuatnya, saling pandang tanpa tahu akan berkata apa lagi. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.
Sepulangnya kami kembali ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak menjadi guru TK?
Apakah kami tetap akan membiarkannya menjadi murid kualitas menengah?
Sebetulnya, kami juga telah berusaha banyak. Demi meningkatkan nilai sekolahnya, kami pernah mencarikan guru les pribadi dan mendaftarkannya di tempat bimbingan belajar, juga membelikan berbagai materi belajar untuknya.
Anak kami juga sangat penurut, dia tidak lagi membaca komik lagi, tidak ikut kelas origami lagi, tidur bermalas-malasan di akhir minggu tidak dilakukan lagi.
Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan terus tanpa henti. Namun biar bagaimana pun dia tetap seorang anak-anak, tubuhnya tidak bisa bertahan lagi dan terserang flu berat. Biar sedang diinfus dan terbaring di ranjang, dia tetap bersikeras mengerjakan tugas pelajaran, akhirnya dia terserang radang paru-paru. Setelah sembuh, wajahnya terlihat semakin kurus. Akan tetapi ternyata hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja rangking 23. Kemudian, kami juga mencoba untuk memberikan penambah gizi dan rangsangan hadiah, setelah berulang-ulang menjalaninya, ternyata wajah anak perempuanku kondisinya semakin pucat saja.
Apalagi, setiap kali akan menghadapi ujian, dia mulai tidak bisa makan dan tidak bisa tidur, terus mencucurkan keringat dingin, terakhir hasil ujiannya malah menjadi nomor 33 yang mengejutkan kami. Aku dan suamiku secara diam-diam melepaskan aksi tekanan, dan membantunya tumbuh normal.
Dia kembali pada jam belajar dan istirahatnya yang normal, kami mengembalikan haknya untuk membaca komik, mengijinkannya untuk berlangganan majalah “Humor anak-anak” dan sejenisnya, sehingga rumah kami menjadi tenteram damai kembali. Kami memang sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak memahami akan nilai sekolahnya.
Pada akhir minggu, teman-teman sekerja pergi rekreasi bersama. Semua orang mempersiapkan lauk terbaik dari masing-masing, dengan membawa serta suami dan anak untuk piknik. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa dan guyonan, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan karya seni pendek.
Anak kami tiada keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan sangat gembira.
Dia sering kali lari ke belakang untuk mengawasi bahan makanan. Merapikan kembali kotak makanan yang terlihat sedikit miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap wadah sayuran yang bocor ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.
Ketika makan terjadi satu kejadian di luar dugaan. Ada dua orang anak lelaki, satunya adalah bakat matematika, satunya lagi adalah ahli bahasa Inggris. Kedua anak ini secara bersamaan berebut sebuah kue beras yang di atas piring, tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau saling membaginya. Walau banyak makanan enak terus dihidangkan, mereka sama sekali tidak mau peduli. Orang dewasa terus membujuk mereka, namun tidak ada hasilnya. Terakhir anak kami yang menyelesaikan masalah sulit ini dengan cara yang sederhana yaitu lempar koin untuk menentukan siapa yang menang.
Ketika pulang, jalanan macet dan anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku membuat guyonan dan terus membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan banyak bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan, membuat anak-anak ini terus memberi pujian. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio-nya masing-masing.
Ketika mendengar anak-anak terus berterima kasih, tanpa tertahankan pada wajah suamiku timbul senyum bangga.
Selepas ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku.
Pertama-tama mendapatkan kabar kalau nilai sekolah anakku tetap kualitas menengah. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang hendak diberitahukannya, hal yang pertama kali ditemukannya selama lebih dari 30 tahun mengajar.
Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu siapa teman sekelas yang paling kamu kagumi dan alasannya.
Selain anakku, semua teman sekelasnya menuliskan nama anakku.
Alasannya pun sangat beragam : antusias membantu orang, sangat memegang janji, tidak mudah marah, enak berteman, dan lain-lain, paling banyak ditulis adalah optimis dan humoris.
Wali kelasnya mengatakan banyak usul agar dia dijadikan ketua kelas saja.
Dia memberi pujian: “Anak anda ini, walau nilai sekolahnya biasa-biasa saja, namun kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-benar nomor satu”.
Saya bercanda pada anakku, kamu sudah mau jadi pahlawan. Anakku yang sedang merajut selendang leher terlebih menundukkan kepalanya dan berpikir sebentar, dia lalu menjawab dengan sungguh-sungguh: “Guru pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.”
Dia pun pelan-pelan melanjutkan: “Ibu, aku tidak mau jadi Pahlawan aku mau jadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.” Aku terkejut mendengarnya dan mengamatinya dengan seksama.
Dia tetap diam sambil merajut benang wolnya, benang warna merah muda dipilinnya bolak balik di jarum, sepertinya waktu yang berjalan di tangannya mengeluarkan kuncup bunga.
Dalam hatiku pun terasa hangat seketika.
Pada ketika itu, hatiku tergugah oleh anak perempuan yang tidak ingin menjadi pahlawan ini. Di dunia ini ada berapa banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi seorang pahlawan, namun akhirnya menjadi seorang biasa di dunia fana ini.
Jika berada dalam kondisi sehat, jika hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam hati, mengapa anak-anak kita tidak boleh menjadi seorang biasa yang baik hati dan jujur.
Jika anakku besar nanti, dia pasti menjadi seorang isteri yang berbudi luhur, seorang ibu yang lemah lembut, bahkan menjadi seorang teman kerja yang gemar membantu, tetangga yang ramah dan baik.
Apalagi dia mendapatkan ranking 23 dari 50 orang murid di kelasnya, kenapa kami masih tidak merasa senang dan tidak merasa puas?
Masih ingin dirinya lebih hebat dari orang lain dan lebih menonjol lagi?
Lalu bagaimana dengan sisa 27 orang anak-anak di belakang anakku? Jika kami adalah orangtua mereka, bagaimana perasaan kami?
Anakmu bukan milikmu.
Mereka putra putri sang Hidup yang rindu pada diri sendiri,
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau,
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
Tapi tidak untuk jiwanya,
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tiada dapat kau kunjungi meski dalam mimpi.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah
Anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian.
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.
- Khalil Gibran
Kisah ini juga di tulis di beberapa milis.